SEJARAH DESA KRANDEGAN
Sejarah adalah rangkaian kisah dimasa lalu yang dipelajari kembali untuk menjadi penanda bahwa kisah-kisah yang terkandung didalamnya mempunyai beragam pengalaman untuk pembelajaran dimasa sekarang dan kearifan dimasa datang.
Banyak kalangan yang menilai bahwa Krandegan tidak sekedar daerah diwilayah kabupaten purworejo semata, namun mempunyai kisah yang menarik dan mempunyai kesan tersendiri. Menurut letak geografis desa tersebut berada di kecamatan Bayan, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Tidak ada sumber sejarah yang mengetahui secara pasti kapan desa Krandegan berdiri.
Dalam cerita sejarah dituturkan bahwa pada saat itu masyarakat sekitar masih menganut kepercayaan dari leluhur dan masih mempercayai benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib. Hal tersebut muncul karena pengaruh dari penguasa yang bernama Pangeran Mangguyu yang kala itu memimpin daerah Banyuurip. Pangeran Mangguyu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, sehingga kepercayaan tersebut menyebar dan berkembang pada masyarakat diberbagai wilayah termasuk daerah kecamatan Bayan dan sekitarnya. Pangeran Mangguyu beserta rakyatnya sering melakukan tradisi kejawen dengan memuja leluhur dan memberikan sesaji dalam bentuk tumpeng dan kembang setaman di sekitar pohon keramat yang bertujuan untuk meminta keberkahan dan keselamatan agar terhindar dari marabahaya dan malapetaka di wilayah tersebut. Pemujaan dan persembahan tersebut merupakan ajaran nenek moyang yang terus berkembang secara turun temurun yang sekarang ini dikenal dengan nama tradisi satu suro.
Suatu ketika datang seorang tokoh agama yang mempunyai keinginan luhur untuk menyebarkan ajaran dari Tuhan di tanah Jawa. Tokoh tersebut bernama Mbah Imam Ghazali, beliau berasal dari salah satu pondok pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur. Diceritakan Imam Ghazali berkelana dari satu pemukiman penduduk ke pemukiman yang lain untuk menyiarkan agama Islam, hingga langkahnya terhenti di suatu tempat karena melihat penyimpangan-penyimpangan yang belum sesuai dengan syariat agama Islam. Masyarakat yang berada di pemukiman tersebut masih menganut paham yang menyimpang dimana warga sekitar belum mengenal adanya Tuhan, masyarakat masih menyembah nenek moyang dan mempercayai benda kramat. Bunuh membunuh masih menjadi hal yang wajar dan biasa dilakukan, hal tersebut sering terjadi ketika perang antar desa atau persilihan antar keluarga dengan menggunakan panah sebagai senjata utama untuk membunuh. Hal tersebut yang menggerakan hati Imam Ghozali untuk singgah di tempat itu sembari mengajarkan agama Islam dan menyerukan ajaran Rasululloh kepada masyarakat sekitar untuk menyembah Allah SWT, Tuhan sang penguasa alam semesta. Dalam prosesnya, Imam Ghazali menyadari bahwa dalam mengajarkan agama Islam diperlukan pendekatan dan penyesuaian dengan budaya setempat. Untuk itu, beliau mengubah penampilan dan mengganti namanya menjadi Ki Krandeg supaya kehadiranya dapat diterima oleh masyarakat sekitar, serta mudah mengajarkan agama Islam di tempat tersebut.
Setelah mampu membaur dengan masyarakat sekitar, Ki Krandeg sedikit demi sedikit memasukan ajaran Islam tentang akhlakul karimah serta mengakulturasikan budaya setempat melalui kegiatan memanah yang dimana pada waktu itu panah merupakan salah satu senjata utama untuk membunuh, kemudian pola pikirnya diubah menjadi kegiatan sebagai sarana mensyiarkan agama Islam dan menjaga kesehatan tubuh. Ki Krandeg mengajarkan kepada masyarakat bahwa memanah merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW yang sangat dianjurkan. Ki Krandeg menerangkan asal muasal memanah kepada masyarakat sekitar, memanah berasal dari kata “manah” yang artinya hati dan pikiran. Dalam hal ini, Beliau menerangkan bahwa pengetahuan akan hakikat manusia harus mengandung dua fase pengetahuan, yaitu pengetahuan akan hakikat jiwa (nafs) dan pengetahuan akan hakikat hati (qalb). Ki Krandeg menyampaikan ada empat hal utama dalam memanah yaitu manusia, busur panah, anak panah, dan sasaran. Masing-masih hal tersebut mengandung makna yang dalam. Dari segi manusia-nya, diajarkan untuk mampu berkonsentrasi. Ini menjadi hal penting dalam kehidupan manusia dimana konsentrasi yang dimaksudkan adalah konsentrasi hanya menyembah Tuhan sang pencipta alam semesta yaitu Allah SWT. Busur panah, busur panah ini bisa diartikan sebagai lingkungan dimana kita berada (tempat tinggal). Lingkungan yang baik akan menciptakan suasana yang baik sebaliknya lingkungan yang buruk akan mendatangkan sebuah malapetaka. Anak panah, anak panah memiliki makna yang sangat kuat dimana terkadang manusia berada pada fase mundur dan diam, dilanjutkan fase melesat jauh. Hal ini memiliki makna bahwa manusia memang perlu berdiam diri untuk merenungi kekurangan dan kesalahan namun harus tetap melesat kedepan untuk menggapai cita-cita yang diinginkan. Sasaran, sasaran menggambarkan kepada manusia bahwa hidup didunia harus menentukan arah dan tujuan hidup. Dimana tujuan tersebut bukan hanya tujuan didunia namun tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu setelah datangnya kematian (akherat).
Pelan-pelan dengan pendekatan yang sangat halus namun pasti, ajaran Islam dari Ki Krandeg mulai dapat diterima oleh masyarakat, hingga banyak masyarakat yang meninggalkan kepercayaan animisme dan dinamisme kemudian memeluk agama Islam. Masyarakat juga mulai banyak yang menekuni kegiatan memanah sebagaimana yang dianjurkan oleh Rosulullah SAW. Panahan yang dahulunya digunakan untuk berperang, kini berubah fungsi sebagai sarana ibadah (menjalankan sunnah Rosul) dan sebagai sarana olahraga yang banyak diminati berbagai kalangan di masyarakat. Banyaknya yang memeluk agama Islam tidak serta merta membuat Ki Krandeg menjadi cepat senang atau berpuas diri, pandangan serta pemikiran beliau jauh kedepan. Ki Krandeg khawatir jika dia pergi dari tempat tersebut, mungkin mereka bisa kembali kepada ajaran menyimpang lagi (ajaran nenek moyang). Untuk itu Ki Krandeg memutuskan untuk tinggal di tempat itu agar dapat melanjutkan syiar agamanya, karena tempat tersebut belum memiliki nama maka Ki Krandeg memberikan nama tempat itu dengan sebutan “KRANDEGAN” sesuai dengan arti kata dalam bahasa Jawa “kerana” yaitu sebab dan “mandeg” yaitu berhenti, serta akhiran “An” yang artinya tempat. Beliau memutuskan untuk berhenti dan menetap supaya warga Desa Krandegan tetap memeluk agama Islam.